Ini
sudah dua hari sejak kasus itu ditutup. Aku masih menemukan apa yang sebenarnya
terjadi. Sehari setelah pengadilan memberi keputusan bebas pada pengusaha
tambang asal Kalimantan itu. Kasus ini terasa ganjil di mataku. Bagaimana bisa
tim forensik mengatakan luka pada model asal Jepang yang bernama Shirota Ay
adalah luka memar karena terjatuh. Jelas-jelas itu adalah luka kekerasan.
Barang bukti narkoba yang kutemukan pada baju korban tidak polisi ambil sebagai
barang bukti. Semua barang bukti yang ada di tempat kejadian seolah lenyap
tanpa bekas. Kemana perginya semua itu?
Hernanto,
rekanku yang sangat dekat denganku mulai berubah sejak kasus itu terkuak. Dia
mulai menjauh dariku. Aku tahu ada yang ia sembunyikan tetapi aku tidak tahu
itu apa? Suasana kantor berubah menjadi dingin, tidak ada canda tawa seperti
biasanya. Semua terasa kaku.
“Disini
lebih baik,” kata seorang laki-laki tua yang bekerja sebagai cleaning servis di
kantor ini. Aku hanya diam memandangnya bingung. Dia tersenyum kemudian duduk
disebelahku menikmati udara segar. Kami sedang berada di atap, tempat yang
cocok untuk merenung dan mencari udara segar tentunya.
“Kantor
Polisi tidak seharusnya seperti ini bukan?,” tanya laki-laki itu sambil
memandang langit yang penuh dengan awan.
“Bapak
juga merasakannya?” tanyaku setelah bisa menangkap arah pembicaraannya.
Laki-laki itu tertawa kecil.
“Ya.
Sudah 15 tahun aku bekerja disini dan aku tahu semua tentang kantor ini
termasuk kau, ” kata laki-laki itu tersenyum padaku.
“Nama
bapak siapa?” tanyaku karena aku tidak melihat namanya pada seragam cleaning
servisnya.
“Namaku
tidaklah penting. Yang terpenting adalah mengungkap misteri itu,” kata
laki-laki itu sambil berdiri kemudian pergi.
Mengungkap misteri? Kata-kata
laki-laki itu terngiang di pikiranku. Aku berlari mengejar laki-laki itu tetapi
dia sudah menghilang.
“Lia, kamu tahu bapak-bapak tua yang
jadi cleaning service disini gak?” tanyaku pada Aprilia.
“Bapak-bapak tua siapa? Disini
cleaning servicenya yang laki-laki gak ada yang udah tua, rata-rata umur 25 dan
yang paling tua cuma Pak Hasan,” jawab Aprilia.
Pak
Hasan? Tapi aku yakin bapak itu bukan Pak Hasan dan bapak yang kutemui berumur
sekitar 60 tahunan. Kalau bapak itu tidak bekerja disini lalu kenapa dia bisa
memakai seragam cleaning service? Aku menghela nafas, satu lagi misteri yang
harus ku pecahkan.
Keesokkan
harinya, sudah kuputuskan untuk menyelidiki kembali kasus ini tanpa
sepengetahuan komandan. Aku mungkin akan dikeluarkan jika ketahuan menyelidiki
kembali kasus ini secara diam-diam. Tetapi semua itu tak menghalangi tekadku.
Aku meminta bantuan temanku Danang. Dia seorang detektif yang handal.
“Kau
yakin dengan ini?” tanya Danang. Kami sedang berada di dalam mobil di depan
hotel Sartika.
“Ya,
dan kau harus membantuku,” kataku mengawasi situasi di hotel itu. Tenang, hanya beberapa mobil yang masuk atau keluar
untuk menurunkan penumpang dan membawa tamu hotel keluar seolah kejadian seminggu yang lalu tidak
pernah terjadi.
“Baiklah
mungkin aku sudah gila tapi aku akan membantumu,” kata Danang, aku tersenyum
melihat Danang yang sebelumnya menolak keras membantunya tetapi akhirnya
setuju.
“Dari
mana kita mulai?” tanya Danang.
“Disana,”
tunjukku pada Hotel Sartika.
“Baiklah,
ayo,” kata Danang, keluar dari mobil. Aku mengikutinya. Kami menaiki lift ke
lantai 15. Dan sekarang kami sudah
berada didepan kamar nomor 307. Kamar itu sudah rapi seperti kamar hotel
bintang lima lainnya. Semua perabotan sudah kembali ketempatnya semula. Aku dan
Danang mulai mencari petunjuk yang masih tersisa. Kami mulai mencari ke setiap
sudut ruangan, kamar mandi dan balkon.
Sudah
hampir satu jam kami mencari, tetapi tak ada satu petunjuk yang berhasil kami
dapatkan. Sepertinya penyelidikan ini masih panjang.
“Kamar
ini sudah bersih,” kata Danang.
“Ya.
Sepertinya kita terlambat. Ini sudah seminggu sejak kejadian itu,” kataku.
“Kau
sudah selidiki asal usul Shirota Ay?,” tanyaku kemudian.
“Sudah,
tetapi dia tidak memiliki saudara atau teman disini,” jawab Danang.
“Bagaimana
dengan pacar?” tanyaku.
“Maksudmu?”
tanya Danang yang belum mengerti dengan pertanyaanku.
“Dia
tidak mungkin datang ke Indonesia jika tidak memiliki tujuan. Dan kau bilang
dia tidak memiliki siapa-siapa disini. Lalu untuk apa dia kemari?” jawabku
berusaha berpikir keras.
“Bagaimana
dengan berlibur?” kata Danang.
“Dia
seorang model yang sangat terkenal di Jepang dan asistennya bilang jika
seharusnya dia mengikuti pemotretan di Kanada pada hari ia ditemukan tewas,”
kataku.
“Dan
ini ada hubungannya dengan Galih pengusaha asal Kalimantan itu?” tanya Danang.
“Aku
belum yakin,” aku menghela nafas. Kepalaku dipenuhi teka-teki yang belum
terpecahkan, semuanya terasa mengambang di kepalaku.
“Bagaimana
dengan sopir itu?” ucap Danang kemudian.
“Sopir
pribadi Galih?” sahutku
“Kurasa
kita harus menemuinya,” kata Danang.
Hah,
kenapa tak terpikirkan? Tentu sopir itu tahu semua kegiatan Galih. Kami
meninggalkan hotel Sartika dan menuju rumah Galih di daerah Jakarta Selatan.
Dalam perjalanan, aku melihat sebuah mobil sedan hitam yang terus mengikuti
kami.
“Sepertinya
kita diikuti,” kataku pada Danang yang sedang menyetir.
“Apa?”
sahut Danang, ia kemudian melihat kearah belakang melalui kaca spion.
“Sial,
apa kita sudah ketahuan?” katanya.
“Mungkin.
Sepertinya kita harus lebih hati-hati,” kataku masih memeprhatikan mobil sedan
itu.
“Berani-beraninya
kalian bermain dengan Danang Saputra, lihat saja,” kata Danang kemudian
menambah kecepatan.
Aksi
kejar-kejaran antara mobil kami dan sedan itu terjadi. Aku tidak tahu siapa
yang sengaja mengikuti kami. Saat dibelokan, Danang membanting stir membuatku harus berpegangan pada pintu mobil.
Mobil sedan itu semakin cepat mengejar kami hingga di jalan tol. Danang memacu
mobil dengan kecepatan yang tinggi, diarah berlawanan ada sebuah truk yang
membawa buah-buahan. Kami hampir menabrak truk itu jika Danang tidak membelok.
Terjadi sebuah tabrakan antara truk itu dengan mobil yang mengikuti kami.
“Yang tadi itu hampir saja,” kataku
masih tidak percaya.
“Hahaha,
kau harus terbiasa kawan,” tawa Danang.
Akhirnya
kami sampai di sebuah rumah susun di perkampungan kumuh. Kami bergegas mencari
rumah sopir pribadi Galih yang bernama Agus. Kami menaiki tangga hingga ke
lantai 4 kemudian berjalan ke sebuah kamar yang paling ujung.
Danang mengetuk pintu. Tak lama,
pintu itu dibuka oleh seorang laki-laki muda yang kira-kira berusia 5 tahun.
“Cali ciapa ya?” tanya anak itu
dengan bahasa cadel.
“Ayahnya ada dek?” kata Danang sambil
tersenyum.
“Ayah ada, om. Masuk dulu,” kata
bocah itu mmpersilahkan kami masuk. Ruangannya tidak terlalu besar tetapi cukup nyaman untuk ditinggali.
Perabotan tertata rapi. Disalah satu dinding terdapat foto seorang laki-laki
yang kupikir pasti Pak Agus dan perempuan disampingnya yang sedang menggendong anak tadi adalah
istrinya.
“Ayah, dicali sama om-om,” teriak
anak tadi masuk ke dalam sebuah kamar. Kemudian
muncul Agus dan istrinya. Mereka memandang kami penuh tanya.
“Ada apa ya pak?” tanya Pak Agus.
“Kami adalah detektif yang sedang
menangani kasus model Jepang Shirota Ay,” kataku menjelaskan.
Raut muka Agus menegang begitu kami
menyebut nama Shirota Ay.
“Kami bermaksud meminta bantuan bapak
untuk membantu kami menyelidiki penyebab kematian Shirota,” lanjutku.
“Bukannya penyebab kematiannya adalah
overdosis?” kata Pak Agus.
“Tapi kami berpendapat Shirota mati
karena dibunuh bukan karena overdosis,” kataku.
Pak Agus terlihat sedang berpikir
sebelum kemudian mengangguk setuju. “Lalu apa yang bisa kami bantu?” tanyanya.
“Apa yang saja yang dilakukan Galih
di Hotel Sartika?” tanyaku.
Sekitar dua jam lebih kami
mengintrogasi Pak Agus. Dan saat ini aku sudah kembali ke rumah. Di depanku
banyak dokumen tentang kasus ini. Pada hari itu ia mengantar Galih di Hotel
Sartika untuk rapat dan Galih tidak bertemu dengan Shirota. Sama seperti apa
yang dikatakan Galih saat aku mengintrogasinya. Tapi di rekaman CCTV , terlihat
Galih yang keluar dari kamar Shirota. Lalu kenapa Galih bisa keluar dari kamar
itu? Ada urusan apa dia dengan Shirota?
Teleponku berdering. Tertera di layar
handphoneku nama “Aprilia Office Calling”.
Dengan malas aku mengangkat panggilannya.
“Hallo?” kataku malas.
“Hay, Di. Temanmu yang jemput kamu di
kantor tadi siapa?” tanya Aprilia semangat.
“Danang?”
“Ow, Danang. Dia persis ya sama
cleaning servis di Hotel Sartika?” kata Aprilia.
“Maksudnya?” tanyaku tak mengert.
“Iya, aku lihat rekaman CCTV jam 7
sore sebelum model itu meninggal?” kata Aprilia.
Aku menutup teleponku dan kembali ke
meja kerjaku. Aku membuka rekaman CCTV itu . Ya, memang ada seorang cleaning
servis yang keluar dari kamar Shirota saat jam tujuh, dua jam sebelum
pembunuhan. Dan Galih keluar dari kamar Shirota jam delapan. Aku memperbesar
gambar wajah cleaning servis itu. Dan itu memang Danang. Kenapa Danang menyamar
jadi cleaning service?
Aku mencari foto-foto kamar Shirota. Karena
terburu-buru ada sebuah foto yang terjatuh di lantai. Aku mengambil foto
itu. Foto meja rias di kamar Shirota
menginap. Ku cermati lagi gambar itu.
Ada sebuah kalung yang berinisial DS yang terselip di belakang meja rias
itu. Bukankah itu kalung Danang? Aku teringat sejak kami bertemu, dia tidak
memakai kalung ini.
“Apa mungkin Danang yang membunuh
Shirota?” batinku. “Aku harus ke hotel itu sekarang,” kataku sambil memakai
jaket dan mengambil kunci mobil.
Begitu sampai di Hotel Sartika, aku
langsung mencari kamar nomor 307. Pintu kamar itu sudah
terbuka, ada seseorang yang terlebih dulu datang. Aku mengintip dari celah
pintu. Aku melihat seorang laki-laki yang membelakangiku sedang mengacak-acak
kamar itu, seperti sedang mencari sesuatu. Tak lama laki-laki itu berbalik dan
dia ternyata Pak
Agus. Untuk apa Agus disini?
“Untuk apa bapak datang kesini?”
tanyaku menangkap basah.
“Pak Adi,” gugupnya.
“Jawab saya pak,” kataku tegas.
“Ehmm... saya .... saya mencari
kunci,” kata Pak Agus.
“Kunci?”
“Iya, waktu itu kata istri saya, ada
yang pinjem seragamnya. Nah kunci loker istri saya itu ada di sakunya. Waktu
seragamnya dikembalikan, kuncinya gak ada,” kata Pak Agus menjelaskan.
“Lalu kenapa bapak hanya mencari di
kamar ini?” tanyaku lagi.
“Waktu itu istri saya tugasnya di
lantai 5, sudah semua kamar sudah saya cari. Kalau Pak tidak percaya, saya bisa
panggilkan istri saya. Dia lagi di kamar 308,” jelasnya.
“Baik, saya percaya,” kataku, mataku
melihat sebuah kalung yang di pegang Pak Agus.
“Itu apa pak?” tunjukku pada kalung
yang dipegangnya.
“Saya gak tau Pak, ini tadi saya temuin
terselip di belakang meja rias,” kata Pak Agus seraya memberikan kalung itu
padaku.
“DS?” Bandul kalung itu huruf D dan
S. Sama seperti milik Danang tetapi di bandul ini ada bercak darahnya. “Istri
Pak Agus, bekerja sebagai apa?” tanyaku kemudian.
“Cleaning service pak, memangnya
kenapa?” tanya Pak Agus.
“Kapan seragam istri bapak dipinjam?”
tanyaku lagi.
“Seminggu yang lalu? Berarti saat
pembunuhan Shirota?” kataku. “Bapak tahu
siapa yang meminjamnya?” Aku merasa teka teki ini akan terpecahkan.
“Saya
gak tahu pak, yang tahu istri saya,” jawab Pak Agus.
“Kau
juga disini Di?” tanya seseorang di belakangku. Aku membalikan badanku
menghadap orang itu. Yang kulihat Danang sedang berdiri sambil tersenyum
kearahku.
“Danang?
Kenapa kau ada disini?” tanyaku menyelidik.
“Aku?
Aku hanya ingin mencari bukti disini,” kata Danang tersenyum cangung. “Lalu kau
sendiri?” tanya Danang balik.
Danang meraba lehernya. “Ya, itu
kalungku. Kenapa bisa ada padamu?” tanyanya.
“Seharusnya aku yang bertanya, kenapa
kalungmu bisa ada di kamar ini?” tanyaku.
“Waktu itu aku sedang bertemu teman
di Hotel ini. Saat aku ke kamar mandi aku bertabrakan dengan seorang pria dan
saat aku pulang ke rumah, kalungku sudah tidak ada,” jelas Danang.
“Dan pria itu Galih kan?” tebakku.
“Kau yang menjebak Galih agar masuk ke kamar Shirota untuk mengalihkan
perhatian kan?” alibiku.
“Kenapa kau bisa berkata seperti
itu?” kata Danang terkejut.
“Kau yang mengirimkan sms pada Galih
untuk bertemu di kamar 307. Kau juga yang mengirim orang-orang itu untuk
mengejar kita dan kau yang meminjam seragam cleaning service milik istri Pak
Agus kan?” kataku.
Tiba-tiba Danang tertawa dengan keras.
“Aku tahu, kau lebih pintar dariku sejak kita
masih di sekolah. Tetapi tak ku sangka secepat ini kau memecahkannya,” kata
Danang masih tertawa.
“Apa hubunganmu dengan Shirota?” tanyaku
menghentikan tawanya.
“Kami berteman,” kata Danang
tersenyum.
“Hanya teman?” tanyaku memastikan.
“Aku menganggapnya teman,” kata
Danang tertawa. “Kami bertemu di Bali dan sejak itu dia terus mendekatiku,” ungkapnya.
“Kau mengundang Shirota ke Indonesia?”
tanyaku memancing Danang mengatakan semuanya.
“Tidak, dia datang sendiri. Dia
bahkan tidak memberitahuku jika ke Indonesia,” bantah Danang. “Dia datang ke
rumahku, ketika aku sedang dengan
tunanganku, Fatma. Dia marah Fatma, menuduhnya merebutku dari Shirota. Kami
terlibat pertengkaran hebat, dan tanpa sengaja Shirota menumpahkan air keras ke
wajah Fatma,” kata Danang menangis. “Wajah Fatma sekarang hancur, dia depresi
berat. Dan itu semua karena Shirota. Aku tahu kalau Shirota sengaja melakukannya
walaupun dia terus minta maaf dan bilang itu tidak sengaja.”
“Lalu kau membunuhnya?” kataku.
“Ya, aku menyamar sebagai cleaning
service dan memasukan narkoba ke dalam minumannya. Setelah dia sedang di kamar
mandi, aku memukulnya hingga dia mati. Itu semua kulakukan untuk Fatma,” aku
Danang.
“Dan kau mengkambing hitamkan Galih?”
tebakku.
“Ya, dia hanya laki-laki tua mesum.
Dengan sedikit umpan, dia sudah masuk kejebakanku,” tawa Danang.
“Kenapa kau membohongiku selama ini?”
tanyaku.
“Maaf Adi, sebenarnya aku terkejut
karena kau mengajak aku menyelidiki kasus yang aku sendiri tesangkanya,” kata
Danang.
“Kau harus di penjara karena
perbuatanmu,” kataku.
“Tidak, kau tidak bisa menangkapku
begitu saja. Kau tidak punya bukti yang kuat,” kata Danang meremehkan.
“Tentu saja aku punya,” kataku
menunjukan handphoneku yang sudah merekam semua ucapan Danang. “Juga foto dan
rekaman CCTV,” sambungku.
“Sial,” kata Danang keluar dari kamar
ini.
“Percuma saja, polisi sudah mengepung
tempat ini,” kataku menyeringai.
“Kau harus menangkapku dulu,” kata
Danang berlari keluar kamar ini. Aku dan Pak Agus mengejarnya hingga ke lantai
1.
Bagian lobby hotel sudah di kepung
oleh polisi.
“Jangan bergerak,” kata Polisi.
Danang mengangkat kedua tangannya.
Dia melihat sekelilingnya mencoba mencari jalan keluar. Dia berlari ke ruang
bawah tanah, tetapi polisi terlebih dulu menembak kakinya. Dia ditangkap oleh
polisi itu.
“Kerja bagus nak,” kata Komandan
sambil menepuk bahuku.
“Sudah kewajiban saya sebagai
detektif pak,” kataku tersenyum.
Saat aku melihat di pintu utama
hotel, ada laki-laki tua cleaning service yang waktu itu ku temui di kantor
sedang tersenyum dan melambaikan tangannya padaku. Aku balas senyuman dan
lambaiannya. Laki-laki itu ternyata kakek Shirota.
SELESAI
Hak Cipta : Della Yusnita Supriastuti
DI LARANG COPAS OKEYY? :)
0 komentar:
Posting Komentar