Domo-kun Staring

Rabu, 20 Februari 2013


DI UJUNG MISTERI

0



Ini sudah dua hari sejak kasus itu ditutup. Aku masih menemukan apa yang sebenarnya terjadi. Sehari setelah pengadilan memberi keputusan bebas pada pengusaha tambang asal Kalimantan itu. Kasus ini terasa ganjil di mataku. Bagaimana bisa tim forensik mengatakan luka pada model asal Jepang yang bernama Shirota Ay adalah luka memar karena terjatuh. Jelas-jelas itu adalah luka kekerasan. Barang bukti narkoba yang kutemukan pada baju korban tidak polisi ambil sebagai barang bukti. Semua barang bukti yang ada di tempat kejadian seolah lenyap tanpa bekas. Kemana perginya semua itu?
Hernanto, rekanku yang sangat dekat denganku mulai berubah sejak kasus itu terkuak. Dia mulai menjauh dariku. Aku tahu ada yang ia sembunyikan tetapi aku tidak tahu itu apa? Suasana kantor berubah menjadi dingin, tidak ada canda tawa seperti biasanya.  Semua terasa kaku.
“Disini lebih baik,” kata seorang laki-laki tua yang bekerja sebagai cleaning servis di kantor ini. Aku hanya diam memandangnya bingung. Dia tersenyum kemudian duduk disebelahku menikmati udara segar. Kami sedang berada di atap, tempat yang cocok untuk merenung dan mencari udara segar tentunya.
“Kantor Polisi tidak seharusnya seperti ini bukan?,” tanya laki-laki itu sambil memandang langit yang penuh dengan awan.
“Bapak juga merasakannya?” tanyaku setelah bisa menangkap arah pembicaraannya. Laki-laki itu tertawa kecil.
“Ya. Sudah 15 tahun aku bekerja disini dan aku tahu semua tentang kantor ini termasuk kau, ” kata laki-laki itu tersenyum padaku.
“Nama bapak siapa?” tanyaku karena aku tidak melihat namanya pada seragam cleaning servisnya.
“Namaku tidaklah penting. Yang terpenting adalah mengungkap misteri itu,” kata laki-laki itu sambil berdiri kemudian pergi.
            Mengungkap misteri? Kata-kata laki-laki itu terngiang di pikiranku. Aku berlari mengejar laki-laki itu tetapi dia sudah menghilang.
            “Lia, kamu tahu bapak-bapak tua yang jadi cleaning service disini gak?” tanyaku pada Aprilia.
            “Bapak-bapak tua siapa? Disini cleaning servicenya yang laki-laki gak ada yang udah tua, rata-rata umur 25 dan yang paling tua cuma Pak Hasan,” jawab Aprilia.
Pak Hasan? Tapi aku yakin bapak itu bukan Pak Hasan dan bapak yang kutemui berumur sekitar 60 tahunan. Kalau bapak itu tidak bekerja disini lalu kenapa dia bisa memakai seragam cleaning service? Aku menghela nafas, satu lagi misteri yang harus ku pecahkan.
Keesokkan harinya, sudah kuputuskan untuk menyelidiki kembali kasus ini tanpa sepengetahuan komandan. Aku mungkin akan dikeluarkan jika ketahuan menyelidiki kembali kasus ini secara diam-diam. Tetapi semua itu tak menghalangi tekadku. Aku meminta bantuan temanku Danang. Dia seorang detektif yang handal.
“Kau yakin dengan ini?” tanya Danang. Kami sedang berada di dalam mobil di depan hotel Sartika.
“Ya, dan kau harus membantuku,” kataku mengawasi situasi di hotel itu. Tenang,  hanya beberapa mobil yang masuk atau keluar untuk menurunkan penumpang dan membawa tamu hotel keluar  seolah kejadian seminggu yang lalu tidak pernah terjadi.
“Baiklah mungkin aku sudah gila tapi aku akan membantumu,” kata Danang, aku tersenyum melihat Danang yang sebelumnya menolak keras membantunya tetapi akhirnya setuju.
“Dari mana kita mulai?” tanya Danang.
“Disana,” tunjukku pada Hotel Sartika.
“Baiklah, ayo,” kata Danang, keluar dari mobil. Aku mengikutinya. Kami menaiki lift ke lantai 15.  Dan sekarang kami sudah berada didepan kamar nomor 307. Kamar itu sudah rapi seperti kamar hotel bintang lima lainnya. Semua perabotan sudah kembali ketempatnya semula. Aku dan Danang mulai mencari petunjuk yang masih tersisa. Kami mulai mencari ke setiap sudut ruangan, kamar mandi dan balkon.
Sudah hampir satu jam kami mencari, tetapi tak ada satu petunjuk yang berhasil kami dapatkan. Sepertinya penyelidikan ini masih panjang.
“Kamar ini sudah bersih,” kata Danang.
“Ya. Sepertinya kita terlambat. Ini sudah seminggu sejak kejadian itu,” kataku.
“Kau sudah selidiki asal usul Shirota Ay?,” tanyaku kemudian.
“Sudah, tetapi dia tidak memiliki saudara atau teman disini,” jawab Danang.
“Bagaimana dengan pacar?” tanyaku.
“Maksudmu?” tanya Danang yang belum mengerti dengan pertanyaanku.
“Dia tidak mungkin datang ke Indonesia jika tidak memiliki tujuan. Dan kau bilang dia tidak memiliki siapa-siapa disini. Lalu untuk apa dia kemari?” jawabku berusaha berpikir keras.
“Bagaimana dengan berlibur?” kata Danang.
“Dia seorang model yang sangat terkenal di Jepang dan asistennya bilang jika seharusnya dia mengikuti pemotretan di Kanada pada hari ia ditemukan tewas,” kataku.
“Dan ini ada hubungannya dengan Galih pengusaha asal Kalimantan itu?” tanya Danang.
“Aku belum yakin,” aku menghela nafas. Kepalaku dipenuhi teka-teki yang belum terpecahkan, semuanya terasa mengambang di kepalaku.
“Bagaimana dengan sopir itu?” ucap Danang kemudian.
“Sopir pribadi Galih?” sahutku
“Kurasa kita harus menemuinya,” kata Danang.
Hah, kenapa tak terpikirkan? Tentu sopir itu tahu semua kegiatan Galih. Kami meninggalkan hotel Sartika dan menuju rumah Galih di daerah Jakarta Selatan. Dalam perjalanan, aku melihat sebuah mobil sedan hitam yang terus mengikuti kami.
“Sepertinya kita diikuti,” kataku pada Danang yang sedang menyetir.
“Apa?” sahut Danang, ia kemudian melihat kearah belakang melalui kaca spion.
“Sial, apa kita sudah ketahuan?” katanya.
“Mungkin. Sepertinya kita harus lebih hati-hati,” kataku masih memeprhatikan mobil sedan itu.
“Berani-beraninya kalian bermain dengan Danang Saputra, lihat saja,” kata Danang kemudian menambah kecepatan.
Aksi kejar-kejaran antara mobil kami dan sedan itu terjadi. Aku tidak tahu siapa yang sengaja mengikuti kami. Saat dibelokan, Danang membanting stir  membuatku harus berpegangan pada pintu mobil. Mobil sedan itu semakin cepat mengejar kami hingga di jalan tol. Danang memacu mobil dengan kecepatan yang tinggi, diarah berlawanan ada sebuah truk yang membawa buah-buahan. Kami hampir menabrak truk itu jika Danang tidak membelok. Terjadi sebuah tabrakan antara truk itu dengan mobil yang mengikuti kami.
            “Yang tadi itu hampir saja,” kataku masih tidak percaya.
“Hahaha, kau harus terbiasa kawan,” tawa Danang.
Akhirnya kami sampai di sebuah rumah susun di perkampungan kumuh. Kami bergegas mencari rumah sopir pribadi Galih yang bernama Agus. Kami menaiki tangga hingga ke lantai 4 kemudian berjalan ke sebuah kamar  yang paling ujung.
Danang mengetuk pintu. Tak lama, pintu itu dibuka oleh seorang laki-laki muda yang kira-kira berusia 5 tahun.
“Cali ciapa ya?” tanya anak itu dengan bahasa cadel.
“Ayahnya ada dek?” kata Danang sambil tersenyum.
“Ayah ada, om. Masuk dulu,” kata bocah itu mmpersilahkan kami masuk. Ruangannya tidak terlalu besar  tetapi cukup nyaman untuk ditinggali. Perabotan tertata rapi. Disalah satu dinding terdapat foto seorang laki-laki yang kupikir pasti Pak Agus dan perempuan disampingnya  yang sedang menggendong anak tadi adalah istrinya.
“Ayah, dicali sama om-om,” teriak anak tadi masuk ke dalam sebuah kamar.  Kemudian muncul Agus dan istrinya. Mereka memandang kami penuh tanya.
“Ada apa ya pak?” tanya Pak Agus.
“Kami adalah detektif yang sedang menangani kasus model Jepang Shirota Ay,” kataku menjelaskan.
Raut muka Agus menegang begitu kami menyebut nama Shirota Ay.
“Kami bermaksud meminta bantuan bapak untuk membantu kami menyelidiki penyebab kematian Shirota,” lanjutku.
“Bukannya penyebab kematiannya adalah overdosis?” kata Pak Agus.
“Tapi kami berpendapat Shirota mati karena dibunuh bukan karena overdosis,” kataku.
Pak Agus terlihat sedang berpikir sebelum kemudian mengangguk setuju. “Lalu apa yang bisa kami bantu?” tanyanya.
“Apa yang saja yang dilakukan Galih di Hotel Sartika?” tanyaku.
Sekitar dua jam lebih kami mengintrogasi Pak Agus. Dan saat ini aku sudah kembali ke rumah. Di depanku banyak dokumen tentang kasus ini. Pada hari itu ia mengantar Galih di Hotel Sartika untuk rapat dan Galih tidak bertemu dengan Shirota. Sama seperti apa yang dikatakan Galih saat aku mengintrogasinya. Tapi di rekaman CCTV , terlihat Galih yang keluar dari kamar Shirota. Lalu kenapa Galih bisa keluar dari kamar itu? Ada urusan apa dia dengan Shirota?
Teleponku berdering. Tertera di layar handphoneku nama “Aprilia Office Calling”.  Dengan malas aku mengangkat panggilannya.
“Hallo?” kataku malas.
“Hay, Di. Temanmu yang jemput kamu di kantor tadi siapa?” tanya Aprilia semangat.
“Danang?”
“Ow, Danang. Dia persis ya sama cleaning servis di Hotel Sartika?” kata Aprilia.
“Maksudnya?” tanyaku tak mengert.                              
“Iya, aku lihat rekaman CCTV jam 7 sore sebelum model itu meninggal?” kata Aprilia.
Aku menutup teleponku dan kembali ke meja kerjaku. Aku membuka rekaman CCTV itu . Ya, memang ada seorang cleaning servis yang keluar  dari  kamar Shirota saat jam tujuh, dua jam sebelum pembunuhan. Dan Galih keluar dari kamar Shirota jam delapan. Aku memperbesar gambar wajah cleaning servis itu. Dan itu memang Danang. Kenapa Danang menyamar jadi cleaning service?
Aku mencari foto-foto kamar Shirota. Karena terburu-buru ada sebuah foto yang terjatuh di lantai. Aku mengambil foto itu.  Foto meja rias di kamar Shirota menginap. Ku cermati lagi gambar itu.  Ada sebuah kalung yang berinisial DS yang terselip di belakang meja rias itu. Bukankah itu kalung Danang? Aku teringat sejak kami bertemu, dia tidak memakai kalung ini.
“Apa mungkin Danang yang membunuh Shirota?” batinku. “Aku harus ke hotel itu sekarang,” kataku sambil memakai jaket dan mengambil kunci mobil.
Begitu sampai di Hotel Sartika, aku langsung mencari kamar nomor 307. Pintu kamar itu sudah terbuka, ada seseorang yang terlebih dulu datang. Aku mengintip dari celah pintu. Aku melihat seorang laki-laki yang membelakangiku sedang mengacak-acak kamar itu, seperti sedang mencari sesuatu. Tak lama laki-laki itu berbalik dan dia ternyata Pak Agus. Untuk apa Agus disini?
“Untuk apa bapak datang kesini?” tanyaku menangkap basah.
“Pak Adi,” gugupnya.
“Jawab saya pak,” kataku tegas.
“Ehmm... saya .... saya mencari kunci,” kata Pak Agus.
“Kunci?”
“Iya, waktu itu kata istri saya, ada yang pinjem seragamnya. Nah kunci loker istri saya itu ada di sakunya. Waktu seragamnya dikembalikan, kuncinya gak ada,” kata Pak Agus menjelaskan.
“Lalu kenapa bapak hanya mencari di kamar ini?” tanyaku lagi.
“Waktu itu istri saya tugasnya di lantai 5, sudah semua kamar sudah saya cari. Kalau Pak tidak percaya, saya bisa panggilkan istri saya. Dia lagi di kamar 308,” jelasnya.
“Baik, saya percaya,” kataku, mataku melihat sebuah kalung yang di pegang Pak Agus.
“Itu apa pak?” tunjukku pada kalung yang dipegangnya.
“Saya gak tau Pak, ini tadi saya temuin terselip di belakang meja rias,” kata Pak Agus seraya memberikan kalung itu padaku.
“DS?” Bandul kalung itu huruf D dan S. Sama seperti milik Danang tetapi di bandul ini ada bercak darahnya. “Istri Pak Agus, bekerja sebagai apa?” tanyaku kemudian.
“Cleaning service pak, memangnya kenapa?” tanya Pak Agus.
“Kapan seragam istri bapak dipinjam?” tanyaku lagi.
“Seminggu yang lalu? Berarti saat pembunuhan Shirota?”  kataku. “Bapak tahu siapa yang meminjamnya?” Aku merasa teka teki ini akan terpecahkan.
            “Saya gak tahu pak, yang tahu istri saya,” jawab Pak Agus.
            “Kau juga disini Di?” tanya seseorang di belakangku. Aku membalikan badanku menghadap orang itu. Yang kulihat Danang sedang berdiri sambil tersenyum kearahku.
            “Danang? Kenapa kau ada disini?” tanyaku menyelidik.
            “Aku? Aku hanya ingin mencari bukti disini,” kata Danang tersenyum cangung. “Lalu kau sendiri?” tanya Danang balik.
“Sama denganmu,” jawabku. “Bukankah ini kalungmu?” tanyaku menunjukan kalung yang sedang kubawa.
Danang meraba lehernya. “Ya, itu kalungku. Kenapa bisa ada padamu?” tanyanya.
“Seharusnya aku yang bertanya, kenapa kalungmu bisa ada di kamar ini?” tanyaku.
“Waktu itu aku sedang bertemu teman di Hotel ini. Saat aku ke kamar mandi aku bertabrakan dengan seorang pria dan saat aku pulang ke rumah, kalungku sudah tidak ada,” jelas Danang.
“Dan pria itu Galih kan?” tebakku. “Kau yang menjebak Galih agar masuk ke kamar Shirota untuk mengalihkan perhatian kan?” alibiku.
“Kenapa kau bisa berkata seperti itu?” kata Danang terkejut.
“Kau yang mengirimkan sms pada Galih untuk bertemu di kamar 307. Kau juga yang mengirim orang-orang itu untuk mengejar kita dan kau yang meminjam seragam cleaning service milik istri Pak Agus kan?” kataku. 
Tiba-tiba Danang tertawa dengan keras.
 “Aku tahu, kau lebih pintar dariku sejak kita masih di sekolah. Tetapi tak ku sangka secepat ini kau memecahkannya,” kata Danang masih tertawa.
 “Apa hubunganmu dengan Shirota?” tanyaku menghentikan tawanya.
“Kami berteman,” kata Danang tersenyum.
“Hanya teman?” tanyaku memastikan.
“Aku menganggapnya teman,” kata Danang tertawa. “Kami bertemu di Bali dan sejak itu dia terus  mendekatiku,” ungkapnya.
“Kau mengundang Shirota ke Indonesia?” tanyaku memancing Danang mengatakan semuanya.
“Tidak, dia datang sendiri. Dia bahkan tidak memberitahuku jika ke Indonesia,” bantah Danang. “Dia datang ke rumahku,  ketika aku sedang dengan tunanganku, Fatma. Dia marah Fatma, menuduhnya merebutku dari Shirota. Kami terlibat pertengkaran hebat, dan tanpa sengaja Shirota menumpahkan air keras ke wajah Fatma,” kata Danang menangis. “Wajah Fatma sekarang hancur, dia depresi berat. Dan itu semua karena Shirota. Aku tahu kalau Shirota sengaja melakukannya walaupun dia terus minta maaf dan bilang itu tidak sengaja.”
“Lalu kau membunuhnya?” kataku.
“Ya, aku menyamar sebagai cleaning service dan memasukan narkoba ke dalam minumannya. Setelah dia sedang di kamar mandi, aku memukulnya hingga dia mati. Itu semua kulakukan untuk Fatma,” aku Danang.
“Dan kau mengkambing hitamkan Galih?” tebakku.
“Ya, dia hanya laki-laki tua mesum. Dengan sedikit umpan, dia sudah masuk kejebakanku,” tawa Danang.
“Kenapa kau membohongiku selama ini?” tanyaku.
“Maaf Adi, sebenarnya aku terkejut karena kau mengajak aku menyelidiki kasus yang aku sendiri tesangkanya,” kata Danang.
“Kau harus di penjara karena perbuatanmu,” kataku.
“Tidak, kau tidak bisa menangkapku begitu saja. Kau tidak punya bukti yang kuat,” kata Danang meremehkan.
“Tentu saja aku punya,” kataku menunjukan handphoneku yang sudah merekam semua ucapan Danang. “Juga foto dan rekaman CCTV,” sambungku.
“Sial,” kata Danang keluar dari kamar ini.
“Percuma saja, polisi sudah mengepung tempat ini,” kataku menyeringai.
“Kau harus menangkapku dulu,” kata Danang berlari keluar kamar ini. Aku dan Pak Agus mengejarnya hingga ke lantai 1.
Bagian lobby hotel sudah di kepung oleh polisi.
“Jangan bergerak,” kata Polisi.
Danang mengangkat kedua tangannya. Dia melihat sekelilingnya mencoba mencari jalan keluar. Dia berlari ke ruang bawah tanah, tetapi polisi terlebih dulu menembak kakinya. Dia ditangkap oleh polisi itu.
“Kerja bagus nak,” kata Komandan sambil menepuk bahuku.
“Sudah kewajiban saya sebagai detektif pak,” kataku tersenyum.
Saat aku melihat di pintu utama hotel, ada laki-laki tua cleaning service yang waktu itu ku temui di kantor sedang tersenyum dan melambaikan tangannya padaku. Aku balas senyuman dan lambaiannya. Laki-laki itu ternyata kakek Shirota.

SELESAI



Hak Cipta : Della Yusnita Supriastuti

DI LARANG COPAS OKEYY? :)

0 komentar:

Posting Komentar